SEJARAH KERAJAAN TALAGA MANGGUNG
Nun jauh di lereng Gunung Ciremay sebelah selatan, di sekitar Desa
Sangiang Kecamatan Talaga Kabupaten Majalengka, berdiri satu Negara yang
disebut dengan Kerajaan Kerajaan Talaga. Yang pertama-tama mendirikan
dan mengolah Negara tersebut yaitu Batara Gunung Picung, putera keenam Ratu Galuh Ajar Sukaresi atau disebut juga Maharaja Sakti Adimulya (1252 – 1287 M).
Adapun Ratu Galuh Ajar Sukaresi sendiri mempunyai delapan putera/puteri dari isteri beliau yang berlain-lainan. Nama-nama mereka itu adalah:
Adapun Ratu Galuh Ajar Sukaresi sendiri mempunyai delapan putera/puteri dari isteri beliau yang berlain-lainan. Nama-nama mereka itu adalah:
-
Prabu Hariangbanga: Menurunkan para raja di daerah Jawa Timur, seperti Prabu Brawijaya II sampai Prabu Brawijaya V;
-
Maharajasakti: Menurunkan para raja di tanah Pajawan;
-
Prabu Ciungwanara (1287 – 1303 M): Menurunkan para raja di Pakuan dan Pajajaran;
-
Ratu Ragedangan;
-
Prabu Haurkuning, Maharaja Ciptapermana I (1580 – 1595 M);
-
Batara Gunung Picung (1595 – 1618); Menurunkan Raja-Raja Talaga;
-
Ratu Permana Dewa; dan
-
Bleg Tamblek Raja Kuningan.
Adapun Batara Gunung Picung (Ciptaperman II) beliaulah yang menjadi Raja pertama di Talaga (Talagamanggung), dari beliau itu pula menurunkan:
-
Sunan Cungkilak;
-
Sunan Benda;
-
Sunan Gombang;
-
Ratu Ponggang Sang Romahiyang; dan
-
Prabu Darmasuci I.
Prabu Darmasuci I mempunyai dua orang putera yang akan melanjutkan
silsilah Kerajaan Talaga pada masa berikutnya, dua orang putera beliau
itu adalah:
1. Bagawan Garasiang; dan
2. Prabu Darmasuci I (Prabu Talagamanggung).
Bagawan Garasiang
Putera sulung Prabu Darmasuci I adalah Begawan Garasiang, beliau adalah
orang yang gemar bertapa dan merenung sehingga beliau menjadi seorang
Begawan Hindu Kahiyangan. Ia mendirikan padepokan di satu gunung kecil
yang disebut Pasir Garasiang, terletak di daerah perbatasan antara
Kecamatan Argapura dan Talaga sekarang. Beliau mempunyai puteri yang
bernama Ratu Putri Mayangkaruna, yang kemudian diperistri oleh Prabu Mundingsari Ageung, putera Prabu Siliwangi II (Raden Pamanah Rasa)[2] dari Pajajaran.
Kalau kita perhatikan, dengan adanya pernikahan Putri Talaga dan Putra
Pajajaran, ini adalah hukum yang tidak tertulis akan tetapi menjadi ciri
khas langkah strategis dan politis raja-raja Pasundan untuk
mempertahankan keutuhan Negara dan ikatan kekeluargaan melaui jalan
pernikahan di antara para penguasa wilayah Pasundan. Dengan
memperhatikan asfek-asfek penting inilah sikap silih asih, silih asah,
silih asuh akan terekat kuat.
Prabu Darmasuci II (Prabu Talagamanggung) bersemayam di Talaga, keraton
beliau terletak di Sangiang, dengan panorama situ keraton yang indah
yang disebut Situ Sangiang.
Menurut catur para sepuh Talagamanggung adalah seorang Narpati yang
sakti mandraguna dan weduk (tidak tembus senjata). Beliau mempunyai
sebuah senjata pusaka yang diberi nama "cis",
bentuknya seperti tombak kecil atau sekin. Konon, bahwa beliau ketika
lahir tidak memiliki pusar seperti halnya orang pada umumnya. Menurut
ceritera pula Prabu Talagamanggung hanya mempan ditembus senjata oleh
senjata CIS-nya itu.
Pada masa pemerintahan Prabu Talagamanggung
Kerajaan Talaga mengalami kemajuan yang gilang-gemilang dan kondisi
sosial masyarakatnya semakian tentram dan mapan. Dengan demikian banyak
orang yang berasal dari negara dan daerah lain ikut menetap di Talaga.
Prabu Talagamanggung mempunyai seorang menantu yang berasal dari
Bangsawan Palembang yang bernama Palembangunung (suami Putri Dewi
Simbarkancana), pada suatu kesempatan Palembanggunung mengadakan gerakan
bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari mertuanya. Akhirnya
Palembanggunung dengan komplotannya, melalui oleh seorang pengawal
pribadi Sang Prabu, Centrangbarang (yang ditugaskan mengurus senjata) ia
berhasil mencuri senjata CIS tersebut dan memberikannya kepada
Palembanggunung yang kemudian digunakan untuk menusuk tubuh Sang Prabu.
Dalam peristiwa itu Prabu Talagamanggung terluka dan kemudian tubuhnya
menjadi lemas dan akhirnya meninggal. Jenazah beliau diurus sesuai
ajaran Agama Hindu Kahiyangan, abu jenazahnya di larung di Situ
Sangiang[3].
Pada masa hidupnya, Prabu Talagamanggung mempunyai satu orang putera dan satu orang puteri; Raden Panglurah dan Raden Dewi Simbarkancana.
Raden Panglurah
Dari usia kecil ia sudah rajin melatih diri, berangkat ke Gunung
Bitung[4], beliau bertapa di bekas bertapa uyut beliau, Ratu Ponggang
Sang Romahiyang. Raden Panglurah[5] adalah seorang sosok putera penguasa
(raja) yang memiliki sifat-sifat zuhud, meninggalkan kesenangan dunia)
dan lebih memilih untuk mengolah jiwa dan mengembangkan asfek-asfek
spiritual yang telah dikaruniakan Tuhan kepadanya. Dalam kata lain Radan
Panglurah lebih memilih ketentraman dan kesenangan runani serta
penghambaan kepada Tuhan Semesta alam.
Raden Dewi Simbarkancana
Raden Dewi Simbarkancana walaupun seorang puteri beliau banyak memiliki
sifat-sifat kepemimpinan yang diwarisi ayahanda beliau, Prabu
Talagamanggung. Beliau menikah dengan Palembanggunung, Pepatih kerajaan.
Pada mulanya Dewi Simbarkancana tidak mengetahui bahwa kematian
ayahanda beliau itu didalangi suaminya sendiri, akan tetapi sabuni-bunina mungkus tarasi
lambat laun kebusukan sang suami diketahui juga oleh beliau.
Sepeninggal Prabu Talagamanggung, Kerajaan Talaga untuk sementara waktu
dikuasai oleh Palembanggunung.
Dewi Simbarkancana merasa sangat terpukul, beliau ceurik balilihan[6]
(menangis dengan sangat menderita batin) karena dua hal: pertama,
karena beliau dihianati oleh suami beliau sendiri; yang kedua, karena
ditinggal oleh ayahanda tercinta dengan peristiwa yang memilukan.
Menurut beliau, siapa orangnya yang tidak berduka hati ketika ditinggal
sang ayah. Ayahanda beliau, sesorang yang sudah berbuat baik mengangkat
derajat Palembanggunung dibalas dengan perilaku yang sangat keji. Air
susu dibalas air tuba itulah yang terjadi. Akhirnya dengan keberanian
beliau, Dewi Simbarkancana berhasil membunuh Palembanggunung dengan
susuk kondenya.
Selanjutnya Raden Dewi Simbarkancana menikah dengan Raden Kusumalaya
(Raden Palinggih) dari keraton Galuh, putera dari Prabu Ningrat
Kancana. Beliau adalah seorang yang masagi pangarti (cakap lahir batin),
seorang tabib dan ahli strategi. Beliau berhasil menumpas tuntas
gerakan bawah tanah Palembanggunung dan komplotannya, dengan demikian
kekuasaan dapat diambil kembali, keamanan dan ketertiban negara kembali
menjadi stabil dan kokoh.
Dari pernikahan Dewi Simbarkancana dengan Raden Kusumalaya membuahkan delapan orang putera, yaitu:
1. Sunan Parung (Batara Sukawayana);
2. Sunan Cihaur, (Mangkurat Mangkureja);
3. Sunan Gunung Bungbulang;
4. Sunan Cengal (Kerok Batok);[7]
5. Sunan Jero Kaso;
6. Sunan Kuntul Putih;
7. Sunan Ciburang; dan
8. Sunan Tegalcau.[8]
Perpindahan Pertama Pusat Kerajaan (ke Walangsuji)
Menyusul kekacauan yang menimpa keraton Sangiang, yakni dengan adanya
rajapati terhadap Prabu Talagamanggung dan pemberontakan yang didalangi
sang menantu durhaka, hal ini mendorong Ratu Simbarkancana untuk
memindahkan pusat kerajaan dari tutugan Gunung Ciremay ke Walangsuji, di
Desa Kagok, Kemantren Banjaran, Kecamatan Talaga sekarang.
Pusat pemerintahan di Walangsuji nampaknya tidak begitu lama, boleh dikatakan hanya sapanguluban waluh. yakni pusat kerajaan hanya bertahan di Walangsuji selama tujuh tahun tiga bulan[9].
Setelah Penguasa Talaga memandang dari berbagai segi akhirnya
diputuskanlah bahwa Walangsuji kurang strategis untuk tetap dijadikan
pusat pemerintahan Kerajaan Talaga sehingga pusat karajaan harus segera
dipindahkan kembali.
Perpindahan Kedua Pusat Kerajaan (ke Parung)
Sepeninggal Ratu Simbarkancana, Kerajaan Talaga dipegang oleh putera
sulung beliau yang mendapat julukan Sunan Parung (1450 M). Setelah Sunan
Parung mangkat, pemerintahan diserahkan kepada satu-satunya puteri
beliau yang bernama Ratu Dewi Sunyalarang (1500 M) yang di kemudian hari
mendapat julukan Ratu Parung.
Dewi Sunyalarang (Ratu Parung)
menikah dengan Raden Ragamantri, putera Prabu Mundingsari Ageung dari
Ratu Mayangkaruna. Raden Ragamantri adalah cucu dari Begawan Garasiang
dan juga cucu dari Prabu Siliwangi II (Jaya Dewata atau Pamanah Rasa).
Pada masa pemerintahan Dewi Sunyalarang inilah pusat kerajaan
dipindahkan ke Parung.
KERAJAAN TALAGA ISLAM
Ratu Sunyalarang dan Raden Ragamantri Masuk Islam
Pada tahun 1529 Ratu Parung dan Raden Ragamantri mengucapkan syahadatain, masuk agama Islam, melalui dakwah Sunan Gunung Djati yang dibantu para dai Cirebon. Selanjutnya Sunan Gunung Djati (Syaikh Syarif Hidayatullah) memberikan gelar Prabu Pucuk Umum Talaga
kepada Raden Ragamantri sebagai bentuk penghormatan kepada beliau dan
keluarga besar Talaga serta ungkapan rasa syukur ke Hadhirat Allah
Ta'ala.
Hasil pernikahan Ratu Parung, Ratu Sunyalarang dengan Raden Raganantri, Prabu Pucuk Umum Talaga dikaruniai enam putra, yaitu:
-
Prabu Haur Kuning;
-
Aria Kikis, Sunan Wanaperih;
-
Dalem Lumaju Ageng Maja;
-
Sunan Umbuluar Santoan Singandaru;
-
Dalem Panungtung Girilawungan Majelengka; dan
-
Dalem Panaekan.
Ratu Dewi Sunyalarang pada awalnya dimakamkan di tepi Sungai Cilutung,
dan demi keamanan dan pengikisan oleh air kemudian makam beliau
dipindahkan ke makam keluarga Raden Natakusumah di Cikiray oleh Raden
Acap Kartadilaga pada tahun 1959 M. Sedangkan Raden Ragamantri
dimakamkan di tepi Situ Sangiang, makamnya diketemukan pada hari Senin,
22 Rajab 1424 H. atau bertepatan dengan 22 September 2003 oleh penulis.
Kuburan beliau terletak diluar bangunan utama tempat penjiarahan,
persisnya di bawah rindangnya pepohonan besar ditandai dengan sebatang
pohon rotan[10]. Sesuai saran beliau, kuburannya ditandai tiga buah batu
biasa sebagi batu nisan.[11]
Perang Talaga Pada Masa Pemerintahan Arya Kikis
Pada generasi kedua masa pemerintahan Islam Talaga, sepeninggal Ratu Parung, Talaga dipimpin oleh Arya Kikis (Sunan Wanaperih),
putera kedua Ratu Parung pada tahun 1550 M. Arya Kikis adalah seorang
Narpati dan da'i Islam yang handal. Beliau mewarisi ketaatan yang tulus,
ilmu-ilmu kanuragan dan ilmu-ilmu keislaman dari Sunan Gunung Djati.
Salah satu cucu beliau adalah Raja Muda Cianjur, Raden Aria Wiratanudatar atau yang dikenal dengan Dalem Cikundul.
Diawali dangan ikut campurnya Demak untuk menarik upeti dari Talaga
melalui Cirebon, sedangkan kondisi rakyat Kerajaan Talaga yang sangat
memerlukan perhatian pemerintah (lagi susah), akhirnya permintaan
Cirebon dan Demak untuk menarik upeti dari Talaga "ditolak".
Selanjutnya, dengan tiba-tiba saja pasukan Cirebon yang dibantu Demak
menyerang Talaga. Dengan demikian terjadilah peperangan hebat antara
Pasukan Talaga yang dipimpin langsung oleh Senopati Arya Kikis melawan
pasukan penyerobot dari Cirebon dan Demak.
Di medan laga sekalipun
prajurit-prajurit Kerajaan Talaga yang dibantu ketat oleh puragabaya
serta pendekar-pendekar dari padepokan-padepokan dan pesantren-pesantren
Islam itu jumlah pasukan dan senjatanya lebih kecil dibanding jumlah
serta kekuatan para aggresor, akan tetapi pasukan Talaga dengan penuh
semangat dan patriotisme tetap mengadakan perlawanan.
Dengan teriakan dan gaung Allahu Akbar,
serentak pasukan Talaga dengan kecepatan dan kesigapan yang luar biasa
menerjang lawannya dan terus menerus mengkikis habis para aggressor yang
datang menyerang tanpa kesopanan dan tatakrama itu. Syukurlah bahwa
akhirnya kekuatan para penyerobot itu dapat dilumpuhkan dan semua
pasukan Cirebon dan Demak dapat diusir keluar dari wilayah Kerajaan
Talaga.
Kesepakatan Keraton Ciburang
Karena peristiwa itu Kanjeng Sinuhun Susuhunan Cirebon, Syarif Hidayatullah
serta merta datang ke Talaga dan disambut secara khidmat dan hormat
oleh Pangeran Satyapati Arya Kikis, Senapati Kerajaan Talaga, Sang Sunan
Wanaperih; tidak urung dengan mendapatkan penghormatan besar dari para
prajurit, puragabaya, para pendekar dan rakyat kerajaan Talaga serta
Galuh Singacala.
Sesuai dengan kesepakatan pada musyawarah di
Keraton Ciburang yang diselenggarakan oleh para Raja dari Galuh beberapa
waktu yang silam; yang menyatakan bila Kanjeng Waliyullah sendiri
mengucapkan titahnya, mereka semua akan tumut kepada Kanjeng Sinuhun
Cirebon, Syarif Hidayatullah.
Ternyata kesepakatan di Keraton
Ciburang itu dengan takdir Allah terkabul juga. Pada saat itulah Kanjeng
Sinuhun Cirebon bersabda; Bahwa peperangan itu sungguh ditakdirkan
Allah; tetapi bukan merupakan perang agama, sebab di Jawadwipa hanya pernah ada satu perang agama, yaitu antara Demak dan Majapahit. Terjadinya perang Talaga hanya karena tindakan keliru pasukan Cirebon dan Demak.
Kemudian Susuhunan Cirebon, Syarif Hidayatullah mengijinkan kepada
Pangeran Arya Kikis untuk bertafakur di kampungnya yaitu Leuweung Wana
yang selanjutnya disebut Wanaperih, dengan hasrat untuk mendalami ajaran
Agama Islam sedangkan kerajaan Talaga tetap berdiri secara mandiri,
adapun kepemimpinannya diayomi oleh Kanjeng Waliyullah, Sunan Gunung
Djati.
Sunan Wanaperih mempunyai enam orang anak, empat orang putera dan dua orang puteri. Mereka adalah:
-
Dalem Kulanata Maja[12];
-
Dalem Cageur Darma;
-
Raden Apun Surawijaya;
-
Ny. Ratu Radeya[13];
-
Ny. Ratu Putri[14]; dan
-
Dalem Waqngsagoparana[15].
Pemerintahan Raden Apun Surawijaya.
Raden Apun Surawijaya memerintah Talaga sepeninggal ayahanda beliau
Arya Kikis pada tahun 1590. Beliau adalah seorang Narpati Talaga yang
gagah rongkah sakti mandraguna, akan tetapi sangat mencintai dan
dicintai para pembantu beliau dan bahkan dengan kegagahan dan wibawanya
itu beliau ditakuti lawan. Makam beliau terdapat di Kampung Lemah Abang,
Desa Cikeusal, Kecamatan Talaga-Majalengka.
Raden Apun Surawijaya, Sunan Kidul mempunyai empat orang putera yaitu:
-
Dalem Salawangi;
-
Sunan Cibalagung (Cianjur);
-
Pangeran Surawijaya (Sunan Ciburuy); dan
-
Dalem Tuhu (Sunan Ciparanje.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada masa pemerintahan Raden Apun
Surawijaya Kerajaan Talaga sudah dibawah kekuasaan Cirebon. Walaupun
demikian Sang Narpati Talaga itu tetap setia dan patuh pada Kesepakatan
Ciburang yang telah dibuat oleh para pembesar Talaga maupun Cirebon.
Agama Islam dan perasaan "saakar jeung sakaruhun" telah merekatkan tali persaudaraan dan tali kekeluargaan kedua negara tersebut. Memang ada kata-kata leluhur yang mengatakan: "Ari numoro (nyangkalak) rampog-mah Talaga, nanging ari congcotnya bagian Cirebon".
Demikian ini mungkin diucapkan untuk menyatakan adanya ketidak adilan
yang muncul, dan itulah nampaknya yang menyebabkan Perang Talaga
berlangsung.
Sebagai seorang penguasa yang dicintai dan mencintai
rakyatnya, Raden Apun Surawijaya telah berhasil meningkatkan tingkat
kesejahteraan para petani. Pada masa beliau berbagai bendungan irigasi
(dam) dibangun, beliau sangat memperhatikan kebutuhan-kebutuhan rakyat,
khususnya dalam pemanfaatan sumber daya alam.
Pemerintahan Raden Arya Adipati Surawijaya.
Raden Arya Adipati Surawijaya (Sunan Ciburuy), putera ketiga Raden Apun
Surawijaya menjadi raja menggantikan ayahnda beliau pada tahun 1635 M.
Beliau menikahi Ratu Kartaningrat, adik Sultan Panembahan Kasepuhan
Cirebon. Raden Arya Adipati Surawijaya dalam melaksanakan tugas
pemerintahannya didampingi Sang Patih, Aria Paningsingan, seorang
senapati yang gagah dan berani.
Dari hasil pernikahan antara Raden
Arya Adipati Surawijaya dengan Ratu Kartaningrat beliau dikaruniai Allah
SWT lima orang putera dan satu orang puteri, yakni:
1. Pangeran Adipati Suwarga;
2. Pangeran Jayawiriya;
3. Pangeran Kusumayuda;
4. Dalem Tuhu (Sunan Ciparanje, Subang);
5. …………………..(tidak diketahui namanya); dan
6. Ratu Puteri Tilanagara.
Pemerintahan Raden Adipati Suwarga
Selanjutnya yang memerintah Talaga adalah putera cikal Raden Arya
Adipati Surawijaya yang bernama Pangeran Adipati Suwarga, beliau naik
tahta tahun 1675 M. Pangeran Adipati Suwarga menikahi dua orang isteri,
yaitu:
1. Ratu Losari Cirebon; dan
2. Nyi Mas Jitra dari Nunuk (Cengal).
Dari pernikahan Pangeran Adipati Suwarga dengan Ratu Losari dikaruniai putera yang bernama Pangeran Aria Sacadilaga, sedangkan dari penikahan beliau dengan Nyi Mas Jitra dikaruniai putera yang bernama Pangeran Adipati Wiranata.
Talaga Terpecah Menjadi Dua Kerajaan
Ketika Pangeran Adipati Wiranata mau dinobatkan sebagai Narpati Talaga
tahun 1715 M muncul protes dari putera Pangeran Kusumayuda yang bernama
Pangeran Natadilaga. Beliau merasa berhak untuk menjadi Narpati Talaga.
Melihat kondisi demikian, para sesepuh Talaga segera mengadakan
musyawarah dengan keputusan bahwa Talaga harus dibagi dua, yakni menjadi
dua kesultanan:
1. Kesultanan Talagakidul, yang dipimpin oleh Adipati Wiranata; dan
2. Kesultanan Talagakaler, yang dipimpin oleh Pangeran Natadilaga.
Ketika itu pula disepakati bahwa Talaga dibagi menjadi empat sudut mata angin Kabupatian yang meliputi:
-
Kebupatian Talagakidul; dipimpin oleh Pangeran Adipati Sacanata, putera ke-3 Pangeran Adipati Wiranata;
-
Kebupatian Talagakaler; dipimpin oleh Pangeran Arya Sacadilaga, putu Pangeran Arya Natadilaga;
-
Kabupatian Talagawetan; dipimpin oleh Pangeran Kartanagara, putera ke-4 Pangeran Adipati Wiranata; dan
-
Kabupatian Talagakulon; dipimpin oleh Dalem Surya Sepuh, putu Pangeran Adipati Jayawiriya.
Keempat bupati dari empat Kabupatian Talaga ketika itu mendapat julukan Pangeran Papat, karena dalam satu masa yang bersama-sama mengurus Negara Talaga.
Masuknya Dajjal (Kaum Penjajah) dari Erofa di Talaga
Seiring masa berlalu munculah "munding-munding bule"
di bumi pertiwi, yakni dimulai dengan datangnya perjajah Portugis,
Spanyol, dan akhirnya Belanda (VOC). Dengan politik Devide et impera
atau politik pecah belah, pada umumnya mereka berhasil menaklukkan
kerajaan-kerajaan di tanah air, tidak terkecuali Talaga.
Pada tahun
1806 M Belanda menjadikan empat Kabupatian Talaga menjadi satu
kabupatian dengan bupatinya Pangeran Arya Sacanata II. Tiga tahun
kemudian, yakni tahun 1818 M Kabupatian Talaga digabung dengan Kabupatian Sindangkasih menjadi Kabupaten Majalengka yang kita kenal sekarang.
Sesuai dengan rencana licik VOC bahwa sebagai konsekuensi digabungnya
dua kabupaten itu mengharuskan Bupati pindah dari Talaga ke Majalengka.
Pangeran Sacanata II sebagai Bupati Majalengka ketika itu menolak untuk
meninggalkan Talaga dan akhirnya dipensiunkan oleh Belanda (VOC) dengan
hak jasa pensiun sebidang tanah sawah lima puluh bahu. Dengan demikian
Pangeran Sacanata II (Eyang Regasari) mendapat julukan Bopati Panungtung Talaga.
Sebutan "Bopati Talaga" Menjadi "Sesepuh Talaga"
Karena dari rundayan Talaga pasca penggabungan antara Kabupatian Talaga
dan Sindangkasih itu tidak ada yang memegang kekuasaan secara politik,
maka para sesepuh Talaga bermusyawarah untuk menentukan orang yang akan
memegang dan mengurus benda-benda pusaka karuhun Talaga. Ketika itu
disepakati bahwa yang berhak mengurus benda-benda itu adalah keturunan
yang mempunyai hubungan langsung dari Pangeran Sacanata II dari pihak
anak laki-laki, jika anak laki-laki tidak ada maka pihak perempuan pun
diperbolehkan asal jika mempunyai anak laki-laki maka pengurusan benda
pusaka harus kembali dipegang pihak laki-laki.
Beriku ini adalah
orang-orang yang mendapat tugas mengurus benda-benda Pusaka Karuhun
Talaga, yang selanjutnya mereka disebut para Sesepuh Talaga:
-
Pangeran Sumanagara (1820-1840 M), putera sulung Pangeran Arya Sacanata II;
-
Nyi Raden Anggrek (1840 – 1865 M), puteri Pangeran Sumanagara;
-
Raden Natakusumah (1865 – 1895 M), putera Nyi Raden Anggrek;
-
Raden Natadiputra (1895 – 1925 M), putera Raden Natakusumah;
-
Nyi Raden Masri'ah (1925 – 1948 M), puteri Raden Natadiputra;
-
Raden Acap Kartadilaga (1948 – 1970 M), suami Nyi Raden Masri'ah;
-
Nyi Raden Mardiyah (1970 – 1993 M), puteri Daden Acap kartadilaga;
-
Raden Oo Mohammad Syamsuddin (1993 – 2001 M), putera Nyi Raden Mardiyah; dan
-
Raden Abung Syihabuddin (2001 – sekarang), putera Raden Oo Mohammad Syamsuddin.
Islam di Talaga Berkebang Secara Damai
Agama Islam di wilayah Kerajaan Talaga berkembang pesat berkat kerja
keras dan suri tauladan yang indah dan cinta damai dari para da'i Islam
yang didukung toleransi penuh dari para penguasa Hindu Kahiyangan baik
yang menguasai Talaga, Galuh, maupun Pakuan Pajajaran. Bayangkan jika
tidak ada toleransi dari para penguasa Hindu yang ada di tanah Pasundan,
mungkin sekali penyebaran Islam di Talaga khususnya dan Tanah Pasundan
umunya akan dipenuhi dengan cucuran darah dan pertumpahan darah.
Insya Allah, kemakmuran dan kedamaian Talaga akan senantiasa tercipta
manakala segenap penduduknya senantiasa mensyukuri nikmat-nikmat Allah,
saling mengasihi dan menyayangi, mengembangkan budaya toleransi dan
menjauhi budaya kekerasan. Kita harus senantiasa ingat bahwa budaya
kekerasan Wahabiyah, melalui gerakan DI TII yang sempat mengoyak-oyak
sebagian wilayah Talaga tidak terulang lagi.
Amin dan Alhamdulillahirabbil 'alamiin.....
Penulis: Anton Sugara
___________________________________________________________
[1]
Letak kuburan Raden Raga Mantri, cucu Bagawan Garasiang dan Raden
Pamanah Rasa terletak di luar bangunan yang biasa dipakai tahlilan para
penziarah, di bawah pohon besar dengan tiga buah batu biasa sebagai batu
nisannya, sesuai pesan spiritual beliau. Peletakan batu nisan penulis
lakukan dibantu oleh kuncen situs, Bapak H. Emod dan sahabat penulis
Suharto.
[2]
Kata Siliwangi berasal dari kata Silih yang berarti pengganti atau
penerus dan Wangi yang berarti wangi atau harum. Dengan demikian, makna
dari nama Prabu Siliwangi mempunyai pengertian bahwa beliau adalah
Pengganti atau Penerus Prabu Wangi (Wangisutah) yang gugur di alun-alun
Bubat Majapahit (sekarang terletak di Kec.Trowulan Kab.Mojokerto) pada
tahun 1357 M dalam mempertahankan kehormatan dan wibawa Kerajaan
Pajajaran. Ketika itu, rombongan dari Pajajaran bermaksud untuk
mengawinkan puteri beliau Putri Diyah Pitaloka dengan Raja Hayam Wuruk
atas pinangan Sang Raja. Ketika itu rombongan calon penganten perempuan
berhenti dan membuat pasangrahan di alun-alun Bubat sambil menunggu
jemputan Raja Hayam Wuruk (calon penganten laki-laki). Rupanya niat
mulia Prabu Wangi (Wangisutah) dan Raja Hayam Wuruk tidak dikehendaki
oleh Patih Gajah Mada, ia mengadakan "gerakan rahasia" yang tidak
diketahui oleh rajanya sendiri. Gajah Mada dengan pasukannya yang sangat
besar mengepung dan menyerbu rombongan calon pengantin perempuan
sehingga menyebabkan gugurnya Sang Mokteng Bubat (Prabu Wangi), Putri
Diyah Pitaloka dan para pengawalnya. Adapun sebutan Prabu Siliwangi I
adalah Prabu Wastu Kencana yang memindahkan pusat Kerajaan Pajajaran
dari Kawali (Ciamis) ke Pakuan (Bogor). Pada masa pemerintahan Prabu
Wangi, Prabu Siliwangi I dan Prabu Siliwangi II Kerajaan Pajajaran
dibawah satu kekuasaan atau dalam kata lain Pasundan Timur dan Pasundan
Barat bersatu di bawah satu Raja. Pasca Rahiyang Wastu Kencana, Kerajaan
Pasundan terbagi dua; yakni Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Ciamis
dibawah kekuasaan Ningrat Kancana dan Kerajaan Pakuan yang berpusat di
Bogor di bawah kekuasaan Prabu Susuktunggal. Pada masa Prabu Siliwangi
II itulah Pasundan bersatu lagi menjadi Pakuan Pajajaran yang berpusat
di Bogor.
[3]
Menurut Babad Talaga, setelah peristiwa pembunuhan itu Prabu
Talagamanggung beserta keratonnya ngahiyang (menghilang) dan menjadi
Situ Sangiang sekarang. Menurut penulis sendiri, arti "ngahyiang" itu
tidak lain melainkan Inna lillahi râjiûn wa inna ilahi râjiûn dalam arti
Kembali Ke Sang Hiyang (Tuhan) dan bukan tilem.
[4]
Gunung Bitung tepatnya sebelah selatan Talaga, Desa Wangkelang,
Kecamatan Cikijing, Kabupaten Majelangka. Tempat pertapaan Raden
Panglurah sampai sekarang sering diziarahi orang.
[5]
Penulis merasa prihatin karena Patung Raden Panglurah hingga sekarang
masih berada di negeri Belanda, adapaun patung adik beliau Bunda Raden
Dewi Simbarkancana masih ada dan terawat baik di Talaga.
[6]
Istilah ceurik balilihan dan makna beberapa kata berikutnya adalah dari
Bunda Dewi Simbarkancana sendiri, diberitahukan beliau kepada penulis
secara spriritual pada tanggal 28 Januari 2008, kira-kira pukul 20.45
WIB.
[7] Petilasannya masih terdapat di Desa Cengal, kira-kira 1 km Kampung Cadas, Desa Anggrawati, Kecamatan Maja-Majalengka.
[8] Petilasannya terdapat di Blok Galumpit (Tegal Cawet) Desa Tegalsari-Maja.
[9]
Angka 7 tahun 3 bulan ini berdasarkan keterangan Bunda Ratu
Simbarkancana, pada tanggal 27 Januari 2008 yang disampaikan secara
spiritual kepada penulis.
[10]
Tadinya penulis tidak menyangka bahwa di atas kuburan beliau
betul-betul hanya ada satu pohon rotan (ketika itu sudah pugur dengan
satu lembar daun) sesuai dengan tanda-tanda yang disebutkan dalam Babad
Talaga, Subhanallah.
[11]
Penemuan letak makam Raden Ragamantri telah dicek dan diakui
kebenarannya oleh Kang Yuyun, Spiritualis Talaga beberapa waktu setelah
penulis memohon beliau untuk mencek kebenaran apa yang telah disampaikan
Eyang Ragamntri kepada penulis secara spiritual itu.
[12]
Beberapa tahun yang lalu, Dalem Kulanata memberitahu kepada Kakanda
Penulis, Mahfuddin melalui mimpi agar makam beliau yang terletak di
pemakaman umum Maja Selatan diperbiki. Hal ini sudah diberitahukan
kepada kuncen pekuburan.
[13] Dinikahi oleh Ariya Paningsingan
[14] Dinikahi oleh Syekh Sayyid Pamijahan
[15] Menurunkan para penguasa di Sagalaherang Subang dan Cianjur.
hatur nuhun kang, simkuring jadi lebih terang tentang talaga, kirangna, cuma soal kekuasaanna talaga manggung meliputi mana sampe mana, mohon perhatosanna!!
BalasHapusMntap...smua pnya sjrah
BalasHapusalhamdulillah jadi teu poekeun teuing ayeuna mah,,,,
BalasHapusNambah wawasan....htr nhn ka penulis
BalasHapus